Hasil untuk category "PPh Pasal 23"

Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23 dengan Masa Pajak Berbeda dari Tahun Transaksi

Dalam praktik perpajakan di Indonesia, tidak jarang Wajib Pajak menghadapi situasi dimana terdapat perbedaan antara tahun pengakuan penghasilan dengan tahun diterbitkannya bukti potong. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana perlakuan perpajakan yang tepat saat masa pajak pada bukti potong PPh Pasal 23 berbeda dengan tahun transaksi atau penyerahan jasa?

Perbedaan waktu antara pengakuan penghasilan dan penerbitan bukti potong sering terjadi dalam praktik bisnis sehari-hari. Berbagai faktor dapat menyebabkan kondisi ini, mulai dari penundaan pembayaran, proses administratif yang panjang, hingga kebijakan internal perusahaan dalam pengelolaan keuangan dan perpajakan.

Ilustrasi Kasus

Untuk memahami permasalahan ini dengan lebih jelas, mari kita cermati ilustrasi kasus berikut:

PT A menyediakan jasa konsultasi kepada PT B pada bulan Desember 2023. Sesuai dengan prinsip akuntansi, PT A telah mengakui pendapatan tersebut dalam laporan keuangan tahun 2023. Namun, PT B baru melakukan pembayaran pada Januari 2024 dan menerbitkan bukti potong PPh Pasal 23 dengan masa pajak Januari 2024.

Pertanyaannya: Apakah PT A dapat mengkreditkan PPh Pasal 23 tersebut pada SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2024, meskipun pendapatan terkait telah diakui dalam tahun pajak 2023?

Jawaban atas permasalahan ini dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010, yang secara eksplisit mengatur:

"Dalam hal pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan pada tahun pajak yang berbeda dengan tahun pajak pengakuan penghasilan, maka atas Pajak Penghasilan yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan pada tahun pajak dilakukan pemotongan."

Berdasarkan ketentuan tersebut, dalam kasus ilustrasi di atas, PT A dapat mengkreditkan PPh Pasal 23 yang dipotong oleh PT B pada SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2024, meskipun pendapatan yang menjadi dasar pemotongan tersebut telah diakui dalam laporan keuangan PT A tahun 2023.

Untuk konsultasi lebih lanjut mengenai kasus serupa atau permasalahan perpajakan lainnya, jangan ragu untuk menghubungi konsultan perpajakan profesional kam.

Disclaimer: Artikel ini disusun untuk tujuan informasi dan edukasi. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional sebelum mengambil keputusan terkait perpajakan berdasarkan informasi dalam artikel ini.

...

Perusahaan menyewa kendaraan mobil kepada orang pribadi harus memotong pph pasal 21 atau pph pasal 23

PT XYZ menyewa kendaraan mobil milik salah satu karyawannya dengan nilai sewa sebesar 1.000.000. Kira-kira perusahaan harus memotong PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23 ya?

Jawabannya: Atas transaksi sewa kendaraan mobil tersebut perusahaan XYZ harus memotong PPh Pasal 23.

Pasti ada yang bertanya, Penerima penghasilan kan orang pribadi, kenapa tidak di potong PPh Pasal 21?

Jika merujuk pada Pasal 21 ayat (1) UU Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008, yang dipotong PPh pasal 21 adalah atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Sementara dalam kasus tersebut, karyawan tidak melakukan pekerjaan, tidak melakukan jasa, tidak juga melakukan kegiatan, melainkan menyewakan harta dalam bentuk mobil yang dia miliki.

Berdasarkan UU Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 1, atas penghasilan sewa atau penghasilan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta maka di potong pajak sebesar 2% dari jumlah bruto. Sehingga berdasarkan referensi pasal dalam undang-undang tersebut, atas transaksi PT XYZ menyewa kendaraan mobil karyawan harus dipotong PPh Pasal 23. Jika nilai sewa kendaraan mobil sebesar 1.000.000 maka pajak yang harus di potong adalah sebesar Rp20.000 (yaitu 2% x 1.000.000)

Berdasarkan UU Pajak Penghasilan Pasal 23 ayat (1a), dalam hal wajib pajak tidak memiliki NPWP maka besarnya tarif pemotongan lebih tinggi 100% daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Sehingga apabila karyawan tersebut tidak memiliki NPWP, maka perusahaan XYZ memotong PPh Pasal 23 sebesar Rp40.000 (yaitu 2% x 200% x Rp1.000.000)

...

Pajak Royalti Sudah Turun Kok Masih Dipotong 15%? Ini penyebabnya!

Selamat siang. Saya baru terjun menjadi penulis harian lepas di tahun 2023. Baru-baru ini saya mendengar bahwa pajak royalti telah turun menjadi 6%, namun kenyataannya atas royalti yang saya terima masih dipotong PPh sebesar 15% oleh pihak penerbit. Mengapa demikian? Apakah ada peraturan yang dapat menjadi rujukan agar pajak royalti saya dapat dipotong 6%? 

 

Terimakasih atas pertanyaan Anda.

Pada dasarnya, profesi penulis merupakan pekerjaan bebas yang dapat menjadi objek Norma Perhitungan Penghasilan Netto (NPPN). Hal tersebut tertuang dalam PER 17/PJ/2015. Oleh karenanya, merujuk pada peraturan tersebut dasar pengenaan pajak penghasilan pada akhir tahun menjadi lebih kecil dari jumlah brutonya sesuai tarif yang terlampir dalam peraturan tersebut.

Namun, terjadi perdebatan yang memunculkan beda pendapat dikarenakan objek yang dikenai PPh adalah royalti. Dalam UU Nomor 36 tahun 2008, royalti masuk sebagai objek yang dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto wajib pajak. Artinya, penghasilan berupa royalti tidak bisa diakumulasikan dengan penghasilan pekerjaan bebas yang menjadi objek NPPN. 

Hal ini akhirnya memberatkan wajib pajak yang melakukan pekerjaan bebas termasuk penulis lantaran nilai tarif pajak yang dikenakan cukup besar, berbeda dengan pekerjaan bebas lainnya seperti penghasilan dokter, akuntan, notaris, dsb. Selain itu, PPh Pasal 23 yang telah dipotong pemberi penghasilan akan menjadi cicilan pembayaran pajak yang dapat dikreditkan oleh WP pada akhir tahun. 

Akibat tarif yang besar ini, berdampak bagi wajib pajak yang tidak memiliki omzet yang terlalu besar sebab dapat menimbulkan lebih bayar pada SPT Tahunan wajib pajak. Kemudian, proses pengembalian atas kelebihan bayar pajak juga membutuhkan usaha yang tidak mudah. Inilah yang menjadi keluh kesah wajib pajak yang menerima royalti.

Kabar baiknya, belum lama ini pemerintah menerbitkan peraturan PER 1/PJ/2023, yang dapat menjadi solusi dari permasalahan diatas. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa penghasilan berupa royalti yang diterima wajib pajak orang pribadi yang menggunakan NPPN sebagai perhitungan PPh, dapat dimasukkan sebagai penghasilan dari pekerjaan bebas. Jumlah bruto yang diperhitungkan adalah 40% dari penghasilan royalti yang dibayarkan. Adapun tarif pemotongannya adalah 6%, lebih rendah dari tarif PPh Pasal 23 15%. 

Beleid ini berlaku mulai 16 Maret 2023. Mekanisme untuk dapat menggunakan tarif ini, wajib pajak harus menyampaikan Bukti Penerimaan Surat (BPS) pemberitahuan penggunaan NPPN ke Direktorat Jendral Pajak. Namun, untuk dapat menggunakan NPPN, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain, merupakan wajib pajak orang pribadi yang memiliki usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan penghasilan di bawah 4,8 miliar dalam setahun. Selain itu, wajib pajak harus menyampaikan pemberitahuan penggunaan Norma Perhitungan Penghasilan Netto (NPPN) kepada DJP dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak bersangkutan.

Mengenai pertanyaan yang Saudara ajukan diatas, yang perlu diperhatikan adalah apakah Saudara telah menyampaikan surat pemberitahuan penggunaan NPPN kepada DJP? Karena sebenarnya tarif 6% itu hanya dapat digunakan jika wajib pajak menerapkan NPPN sebagai perhitungan pajak penghasilannya. Apabila tidak menggunakan NPPN, maka pemotongan atas penghasilan royalti tetap akan dilakukan sesuai dengan tarif Pasal 23 yaitu 15%. 

Semoga dapat dimengerti.

Dasar Hukum: 

  • PER 17/PJ/2015
  • PER 1/PJ/2023
  • UU Nomor 36/2008
...

Perusahaan membeli paket perjalanan umroh apakah perlu memotong PPh pasal 23?

Pak, perusahaan kami akan memberangkatkan umroh beberapa karyawan. Atas pembelian paket umroh tersebut apakah perusahaan kami harus memotong pph pasal 23, karena mereka termasuk sebagai jasa perantara atau keagenan kan? Lala - Lampung 

Terima kasih atas pertanyaan Ibu lala. 

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 telah merinci beberapa jenis jasa lain sehubungan dengan jasa-jasa yang harus dipotong PPh Pasal 23. Namun jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah keagamaan (umroh) yang diberikan oleh perusahaan tour and travel tetap bukan termasuk dalam jenis jasa lain yang ada dalam PMK 141/2015. 

Perusahaan tour and travel juga bukan termasuk dalam jasa perantara atau keagenan sebagaimana tercantum dalam PMK 141/2015. Hal ini dijelaskan dalam Surat Direktorat Jendral Pajak Nomor S-09/PJ.032/2008 terkait definisi jasa perantara. “Jasa Perantara adalah jasa yang diberikan oleh orang pribadi yang bertindak sebagai perantara dalam perikatan perjanjian di bidang tertentu, dengan mendapat imbalan balas jasa atau pembagian keuntungan dan bertindak atas perintah atau atas nama orang-orang yang tidak ada ikatan kerja tetap dengan dirinya, selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21”.  

Selain itu dalam butir 3 Surat Direktorat Jendral Pajak Nomor S-09/PJ.032/2008 dijelaskan bahwa “Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007, jasa Internet, jasa Freight Forwarding, Tour Travel Agency, agen Pelayaran dan Agen Advertensi tidak tercantum sebagai jasa yang atas penghasilannya dipotong PPh Pasal 23. Oleh karena itu atas pembayaran yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau penggunaan harta…

Dengan demikian, atas transaksi pembelian paket perjalanan umroh yang dilakukan oleh perusahaan ibu lala kepada perusahaan travel umroh tidak perlu di lakukan pemotongan PPh pasal 23 karena atas transaksi tersebut bukan merupakan objek PPh Pasal 23. Semoga terjawab.

Dasar Hukum:

  • Surat Direktorat Jendral Pajak Nomor S-09/PJ.032/2008
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015
  • PER-70/PJ/2007

 

Topik: Umroh, PPh Pasal 23, S-08/2008, PMK 141/2015

...